Menyelami Tujuan Anomali Digital di era viral konten absurd
(sumber : https://pin.it/5K9FgMRfg)
Di
era digital ini, apa yang kita lihat di layar tidak lagi terbatas pada hal-hal
informatif atau edukatif. Justru, banyak dari kita menghabiskan waktu menonton
hal-hal yang absurd, lucu, atau bahkan tidak masuk akal sama sekali. Misalnya,
suara “Tung Tung Sahur” yang diunggah dengan gaya berlebihan tapi menghibur,
atau video random seperti “Ballerina Cappuccino” yang entah kenapa bisa viral.
Lucu? Ya. Aneh? Pasti.Tapi yang bikin penasaran: kenapa bisa
viral? Dan... sebenarnya untuk apa konten semacam ini dibuat?
Bukan
untuk menghakimi hiburan. Bukan juga karena tertawa itu salah. Tapi menarik
kalau kita mencoba melihat lebih dalam apa yang sebenarnya sedang terjadi
dengan pikiran dan perasaan kita saat konten seperti ini begitu cepat menyebar
dan begitu mudah kita nikmati?
Secara
psikologis, banyak konten absurd memang sengaja dibuat untuk memancing
emosi secara cepat.Bukan soal isi. Bukan soal makna. Tapi seberapa cepat bisa
membuat kita bereaksi. Semakin aneh → semakin menarik → semakin banyak yang
nonton → semakin besar peluang viral → semakin menguntungkan.
Dan
tanpa sadar, kita pun terbiasa dengan pola ini. Konten yang cepat dan ringan
jadi favorit, sementara konten yang dalam dan bermakna mulai terasa “berat”.
Dalam
teori emotional contagion, dijelaskan bahwa konten seperti ini bisa
menyebar cepat karena mampu “menulari” emosi. Dalam jurnal Social Media,
Memes, and Digital Emotional Contagion (Tabatabaei dkk., 2023), dijelaskan
bagaimana emosi seperti tawa, bingung, atau kaget bisa tersebar luas hanya
lewat satu unggahan singkat. Otak kita menangkap ekspresi emosional dari
gambar, teks, atau suara absurd itu, lalu sistem mirror neuron bekerja:
kita ikut tertawa, ikut bingung, atau setidaknya ikut merasa, “ini lucu banget
sih”. Akhirnya kita share, kasih komentar, dan tanpa sadar ikut menyebarkannya.
Inilah yang disebut digital emotional contagion.
Begitu banyak konten absurd sengaja dibuat dengan
gaya yang nyeleneh demi memicu reaksi instan. Dan karena emosi
menyebar lebih cepat daripada logika (Kramer dkk., 2014), konten semacam
ini pun lebih mudah viral dibanding konten yang penuh makna.
Dalam Islam, ada satu prinsip sederhana tapi dalam maknanya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317).
Ini
bukan larangan untuk tertawa atau menikmati hiburan. Tapi lebih ke
arah kesadaran. Sebuah pengingat lembut yang seolah bertanya,“Kamu
habiskan waktu buat ini… manfaatnya apa, ya?”
Bukan
berarti hiburan itu salah. Justru sebaliknya, kita semua butuh jeda. Butuh
tertawa. Butuh santai. Tapi ada satu benang merah yang bisa kita
pegang: hiburan seharusnya menyegarkan, bukan membuat kita kehilangan
arah. Bukan membuat kita terbiasa dengan hal-hal yang kosong makna.
Kita
hidup di zaman di mana konten datang silih berganti, kadang makin absurd, makin
singkat, makin cepat. Tapi di tengah banjir distraksi ini, kita tetap punya
pilihan. Kita bisa tetap tertawa, tapi dengan sadar. Kita bisa menikmati, tapi
juga tahu kapan harus berhenti.
Mungkin
nggak semua hal yang muncul di layar perlu diikuti sampai habis. Karena pada
akhirnya, ini bukan soal melarang diri untuk bersenang-senang, tapi soal
menyadari apa yang layak kita beri tempat dalam pikiran dan waktu kita.
Referensi:
https://pin.it/5K9FgMRfg
Al-‘Utsaimin, M. S. (1425 H). Syarḥ al-Arbaʿīn al-Nawawiyyah (Cet. ke-3). Dar Ats-Tsurayya.
Kramer, A. D. I., Guillory, J. E., & Hancock, J. T. (2014). Experimental evidence of massive-scale emotional contagion through social networks. Proceedings of the National Academy of Sciences, 111(24), 8788–8790. https://doi.org/10.1073/pnas.1320040111
Tabatabaei, O., Saadatmand, M., Moradipour, S., & Mohammadi, M. (2023). Social media, memes, and digital emotional contagion: Critical thinking and emotional intelligence for digital citizenship education. IGI Global.
Komentar
Posting Komentar